Sabtu, 26 Februari 2011

Di Manakah Allah SWT ?????


Ada sebuah pertanyaan penting yang cukup mendasar bagi setiap kaum muslimin yang telah mengakui dirinya sebagai seorang muslim. Setiap muslim selayaknya bisa memberikan jawaban dengan jelas dan tegas atas pertanyaan ini, karena bahkan seorang budak wanita yang bukan berasal dari kalangan orang terpelajar pun bisa menjawabnya. Bahkan pertanyaan ini dijadikan oleh Rasulullah sebagai tolak ukur keimanan seseorang. Pertanyaan tersebut adalah “Dimana Allah?”.

Jika selama ini kita mengaku muslim, jika selama ini kita yakin bahwa Allah satu-satunya yang berhak disembah, jika selama ini kita merasa sudah beribadah kepada Allah, maka sungguh mengherankan bukan jika kita tidak memiliki pengetahuan tentang dimanakah dzat yang kita sembah dan kita ibadahi selama ini. Atau dengan kata lain, ternyata kita belum mengenal Allah dengan baik, belum benar-benar mencintai Allah dan jika demikian bisa jadi selama ini kita juga belum menyembah Allah dengan benar. Sebagaimana perkataan seorang ulama besar Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin: “Seseorang tidak dapat beribadah kepada Allah secara sempurna dan dengan keyakinan yang benar sebelum mengetahui nama dan sifat Allah Ta’ala” (Muqoddimah Qowa’idul Mutsla).

Sebagian orang juga mengalami kebingungan atas pertanyaan ini. Ketika ditanya “dimanakah Allah?” ada yang menjawab ‘Allah ada dimana-mana’, ada juga yang menjawab ‘Allah ada di hati kita semua’, ada juga yang menjawab dengan marah sambil berkata ‘Jangan tanya Allah dimana, karena Allah tidak berada dimana-mana’. Semua ini, tidak ragu lagi, disebabkan kurangnya perhatian kaum muslimin terhadap ilmu agama, terhadap ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah yang telah jelas secara gamblang menjelaskan jawaban atas pertanyaan ini, bak mentari di siang hari.

Allah bersemayam di atas Arsy

“Dimanakah Allah?” maka jawaban yang benar adalah Allah bersemayam di atas Arsy, dan Arsy berada di atas langit. Hal ini sebagaimana diyakini oleh Imam Asy Syafi’I, ia berkata: “Berbicara tentang sunnah yang menjadi pegangan saya, murid-murid saya, dan para ahli hadits yang saya lihat dan yang saya ambil ilmunya, seperti Sufyan, Malik, dan yang lain, adalah iqrar seraya bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq selain Allah, dan bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah, serta bersaksi bahwa Allah itu diatas ‘Arsy di langit, dan dekat dengan makhluk-Nya” (Kitab I’tiqad Al Imamil Arba’ah, Bab 4). Demikian juga diyakini oleh para imam mazhab, yaitu Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) dan Imam Ahmad Ibnu Hambal (Imam Hambali), tentang hal ini silakan merujuk pada kitab I’tiqad Al Imamil Arba’ah karya Muhammad bin Abdirrahman Al Khumais.

Keyakinan para imam tersebut tentunya bukan tanpa dalil, bahkan pernyataan bahwa Allah berada di langit didasari oleh dalil Al Qur’an, hadits, akal, fitrah dan ‘ijma.

1. Dalil Al Qur’an

Allah Ta’ala dalam Al Qur’anul Karim banyak sekali mensifati diri-Nya berada di atas Arsy yaitu di atas langit. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

“Allah Yang Maha Pemurah bersemayam di atas Arsy” (QS. Thaha: 5)

Ayat ini jelas dan tegas menerangkan bahwa Allah bersemayam di atas Arsy. Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya:

“Apakah kamu merasa aman terhadap Dzat yang di langit (yaitu Allah) kalau Dia hendak menjungkir-balikkan bumi beserta kamu sekalian sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang” (QS. Al Mulk: 16)

Juga ayat lain yang artinya:

“Malaikat-malaikat dan Jibril naik kepada Rabb-Nya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun” (QS. Al-Ma’arij: 4). Ayat pun ini menunjukkan ketinggian Allah.

2. Dalil hadits

Dalam hadits Mu’awiyah bin Hakam, bahwa ia berniat membebaskan seorang budak wanita sebagai kafarah. Lalu ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menguji budak wanita tersebut. Beliau bertanya: “Dimanakah Allah?”, maka ia menjawab: “ Di atas langit”, beliau bertanya lagi: “Siapa aku?”, maka ia menjawab: “Anda utusan Allah”. Lalu beliau bersabda: “Bebaskanlah ia karena ia seorang yang beriman” (HR. Muslim).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda yang artinya:

“Setelah selesai menciptakan makhluk-Nya, di atas Arsy Allah menulis, ‘Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului murka-Ku’ ” (HR. Bukhari-Muslim)

3. Dalil akal

Syaikh Muhammad Al Utsaimin berkata: “Akal seorang muslim yang jernih akan mengakui bahwa Allah memiliki sifat sempurna dan maha suci dari segala kekurangan. Dan ‘Uluw (Maha Tinggi) adalah sifat sempurna dari Suflun (rendah). Maka jelaslah bahwa Allah pasti memiliki sifat sempurna tersebut yaitu sifat ‘Uluw (Maha Tinggi)”. (Qowaaidul Mutslaa, Bab Syubuhaat Wa Jawaabu ‘anha)

4. Dalil fitrah

Perhatikanlah orang yang berdoa, atau orang yang berada dalam ketakutan, kemana ia akan menengadahkan tangannya untuk berdoa dan memohon pertolongan? Bahkan seseorang yang tidak belajar agama pun, karena fitrohnya, akan menengadahkan tangan dan pandangan ke atas langit untuk memohon kepada Allah Ta’ala, bukan ke kiri, ke kanan, ke bawah atau yang lain.

Namun perlu digaris bawahi bahwa pemahaman yang benar adalah meyakini bahwa Allah bersemayam di atas Arsy tanpa mendeskripsikan cara Allah bersemayam. Tidak boleh kita membayangkan Allah bersemayam di atas Arsy dengan duduk bersila atau dengan bersandar atau semacamnya. Karena Allah tidak serupa dengan makhluknya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah” (QS. Asy Syura: 11)

Maka kewajiban kita adalah meyakini bahwa Allah berada di atas Arsy yang berada di atas langit sesuai yang dijelaskan Qur’an dan Sunnah tanpa mendeskripsikan atau mempertanyakan kaifiyah (tata cara) –nya. Imam Malik pernah ditanya dalam majelisnya tentang bagaimana caranya Allah bersemayam? Maka beliau menjawab: “Bagaimana caranya itu tidak pernah disebutkan (dalam Qur’an dan Sunnah), sedangkan istawa (bersemayam) itu sudah jelas maknanya, menanyakan tentang bagaimananya adalah bid’ah, dan saya memandang kamu (penanya) sebagai orang yang menyimpang, kemudian memerintahkan si penanya keluar dari majelis”. (Dinukil dari terjemah Aqidah Salaf Ashabil Hadits)

Allah bersama makhluk-Nya

Allah Ta’ala berada di atas Arsy, namun Allah Ta’ala juga dekat dan bersama makhluk-Nya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

“Allah bersamamu di mana pun kau berada” (QS. Al Hadid: 4)

Ayat ini tidak menunjukkan bahwa dzat Allah Ta’ala berada di segala tempat. Karena jika demikian tentu konsekuensinya Allah juga berada di tempat-tempat kotor dan najis, selain itu jika Allah berada di segala tempat artinya Allah berbilang-bilang jumlahnya. Subhanallah, Maha Suci Allah dari semua itu. Maka yang benar, Allah Ta’ala Yang Maha Esa berada di atas Arsy namun dekat bersama hambanya. Jika kita mau memahami, sesungguhnya tidak ada yang bertentangan antara dua pernyataan tersebut.

Karena kata ma’a (bersama) dalam ayat tersebut, bukanlah kebersamaan sebagaimana dekatnya makhluk dengan makhluk, karena Allah tidak serupa dengan makhluk. Dengan kata lain, jika dikatakan Allah bersama makhluk-Nya bukan berarti Allah menempel atau berada di sebelah makhluk-Nya apalagi bersatu dengan makhluk-Nya.

Syaikh Muhammad Al-Utsaimin menjelaskan hal ini: “Allah bersama makhluk-Nya dalam arti mengetahui, berkuasa, mendengar, melihat, mengatur, menguasai dan makna-makna lain yang menyatakan ke-rububiyah-an Allah sambil bersemayam di atas Arsy di atas makhluk-Nya” (Qowaaidul Mutslaa, Bab Syubuhaat Wa Jawaabu ‘anha) .

Ketika berada di dalam gua bersama Rasulullah karena dikejar kaum musyrikin, Abu Bakar radhiallahu’anhu merasa sedih sehingga Rasulullah membacakan ayat Qur’an, yang artinya:

“Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita” (QS. Taubah: 40)

Dalam Tafsir As Sa’di dijelaskan maksud ayat ini: “ ’Allah bersama kita’ yaitu dengan pertolongan-Nya, dengan bantuan-Nya dan kekuatan dari-Nya”. Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya:

“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), sesungguhnya Aku qoriib (dekat). Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepadaKu” (QS. Al Baqarah: 186)

Dalam ayat ini pun kata qoriib (dekat) tidak bisa kita bayangkan sebagaimana dekatnya makhluk dengan makhluk. Dalam Tafsir As Sa’di dijelaskan maksud ayat ini: “Sesungguhnya Allah Maha Menjaga dan Maha Mengetahui. Mengetahui yang samar dan tersembunyi. Mengetahui mata yang berkhianat dan hati yang ketakutan. Dan Allah juga dekat dengan hamba-Nya yang berdoa, sehingga Allah berfirman ‘Aku mengabulkan doa orang yang berdoa jika berdoa kepada-Ku’ ”. Kemudian dijelaskan pula: “Doa ada 2 macam, doa ibadah dan doa masalah. Dan kedekatan Allah ada 2 macam, dekatnya Allah dengan ilmu-Nya terhadap seluruh makhluk-Nya, dan dekatnya Allah kepada hambaNya yang berdoa untuk mengabulkan doanya” (Tafsir As Sa’di). Jadi, dekat di sini bukan berarti menempel atau bersebelahan dengan makhluk-Nya. Hal ini sebenarnya bisa dipahami dengan mudah. Dalam bahasa Indonesia pun, tatkala kita berkata ‘Budi dan Tono sangat dekat’, bukan berarti mereka berdua selalu bersama kemanapun perginya, dan bukan berarti rumah mereka bersebelahan.

Kaum muslimin, akhirnya telah jelas bagi kita bahwa Allah Yang Maha Tinggi berada dekat dan selalu bersama hamba-Nya. Allah Maha Mengetahui isi-isi hati kita. Allah tahu segala sesuatu yang samar dan tersembunyi. Allah tahu niat-niat buruk dan keburukan maksiat yang terbesit di hati. Allah bersama kita, maka masih beranikah kita berbuat bermaksiat kepada Allah dan meninggakan segala perintah-Nya?
Allah tahu hamba-hambanya yang butuh pertolongan dan pertolongan apa yang paling baik. Allah pun tahu jeritan hati kita yang yang faqir akan rahmat-Nya. Allah dekat dengan hamba-Nya yang berdoa dan mengabulkan doa-doa mereka. Maka, masih ragukah kita untuk hanya meminta pertolongan kepada Allah? Padahal Allah telah berjanji untuk mengabulkan doa hamba-Nya. Kemudian, masih ragukah kita bahwa Allah Ta’ala sangat dekat dan mengabulkan doa-doa kita tanpa butuh perantara? Sehingga sebagian kita masih ada yang mencari perantara dari dukun, paranormal, para wali dan sesembahan lain selain Allah. Wallahul musta’an.

Ilmu Allah adalah pedoman untuk Mengenal "Hamba (makhluk)" dan "Tuhan (Khalik)" nya


Bahwa manusia dijadikan oleh Allah adalah untuk berbakti/beribadah dan untuk menyatakan Diri-Nya sendiri pada Zat, Sifat, Asma’ dan Af’al-Nya.
Firman Allah dalam Surah Az Zariyat 56 :
“Sesungguhnya tidak Aku jadikan jin dan manusia kecuali untuk beribadah/berbakti”
Untuk mencurahkan bakti/ibadah kepada Allah maka manusia haruslah mengenal Allah.
Sabda Rasulullah SAW :
“Awal dari agama adalah dengan mengenal Allah”
Untuk mengenal Allah, maka Allah memberikan ilmu kepada manusia melalui Akal dan Iman dengan satu harapan agar manusia mengetahui akan hakekat sebenar-benarnya tujuan zahirnya ke dunia ini.
Sesungguhnya semua ilmu yang ada pada manusia adalah Ilmu Allah semata, sedangkan manusia pada hakekatnya adalah kosong semata.

Firman Allah dalam Surah Yunus 57 :
“Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit di dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang beriman”
Pada dasarnya Ilmu Allah terbagi menjadi tiga bagian yaitu :

1. Ilmu Kalam
2. Ilmu Ghaib
3. Ilmu Syahadah

Firman Allah SWT dalam Surah Al A’laq 1-5 :
“Bacalah bahwa Tuhanmu itu bersifat Al Akram yang mengajarkanmu dengan Ilmu Qalam dan Tuhanmu mengajarkan manusia pada tidak mengerti menjadi faham atas sesuatu”

Firman Allah SWT dalam Surah Al Hasyr 22 :
“Dan sesungguhnya Allah itu memiliki Ilmu Ghaib dan Ilmu Syahadah”

ILMU KALAM
Ilmu Kalam adalah suatu ilmu pengetahuan dari Allah yang dapat dipelajari oleh manusia untuk tujuan memahami sesuatu di alam maya ini. Dapat dibicarakan, diajarkan, dan dapat diterima oleh pancaindera dan daya fikir manusia yang bersifat zahir semata. Kedalaman dari ilmu ini hanya sebatas dan sejauh pancaindera mencapainya dan tidak lebih. Sebagai contoh, manusia telah mengkaji tentang atom dan DNA (Dioxyribo Nucleid Acid). Namun hingga sekarang tidak pernah mampu mendalami bagaimana atom atau DNA terbentuk.

Dapat disimpulkan bahwa Ilmu Kalam adalah ilmu yang memang diilhamkan oleh Allah kepada daya fikir manusia untuk dapat memahami alam sekitarnya sebagai bekal hidup di dunia. Akan tetapi ilmu inipun hanya diberikan dalam pola bidang-bidang tertentu saja sesuai dengan takaran daya fikir manusia dimaksud.

Transformasi Ilmu Kalam :

1. Allah memberikan rangsangan berupa gejala-gejala alam sekitar untuk kemudian memicu daya fikir manusia (yang diilhami) untuk mengkaji dan mendalaminya.
2. Hasil kajian dan pendalaman ini (pada bidang tertentu) kemudian menjadi ilmu pengetahuan yang dapat dibuktikan oleh pancaindera dan daya fikir manusia.
3. Transformasi ilmu ini kepada manusia lainnya adalah melalui guru zahir dengan segala sebutannya.

ILMU GHAIB
Adalah merupakan suatu ilmu yang dapat menerangkan sesuatu yang tidak dapat diterangkan oleh Ilmu Kalam. Ilmu Ghaib adalah ilmu pengetahuan yang amat luas sekali ruang lingkupnya sehingga tidak mampu dijangkau oleh daya fikir manusia. Ilmu Ghaib hanya bisa diterima oleh Akal dan Iman.

Ringkasnya, Ilmu Ghaib adalah ilmu pengetahuan yang meliputi Alam Saghir (batang tubuh manusia) dan Alam Kabir (jagad raya / alam maya).

Keluasan Ilmu Ghaib meliputi tujuh petala langit dan tujuh petala bumi serta apa saja yang ada di antara keduanya.

Syarat mutlak untuk memperoleh ilmu ini adalah :

1. Suci jiwa dan raga.
2. Mengenal diri.
3. Akal jernih yang dihasilkan oleh hati yang beriman terhadap Allah SWT.

Manusia dikatakan beriman sehingga ber-akal jernih adalah manusia yang telah mampu menghancurkan gumpalan darah kotor di ujung jantung mereka yang menjadi Istana Iblis. Bila gumpalan darah kotor itu hancur maka akan terpancarlah Nur dari dalam jantung yang disebut NurQalbun (Cahaya hati) yang sesungguhnya adalah sebenar-benarnya hati para mukmin.

QALBUN MUKMIN BAITALLAH (Hati orang-orang mukmin adalah Istana Allah)

Dalam pada ini disebutlah QALBUN MUKMIN sebagai AKAL. Yaitu keimanan, keyakinan hakiki terhadap sesuatu secara mutlak tanpa ragu sedikitpun melalui jalan “ghaib” walau logika (daya fikir) manusia tidak bisa menerimanya.

Kadar penerimaan Ilmu Ghaib luasnya tergantung pada kadar kesucian hati dan jiwa manusia serta mengikut kadar yang dikaruniakan sendiri oleh Allah padanya.

Firman Allah dalam Surah Al Taghaabun 11 :
“Dan barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya”

Pengetahuan Ilmu Ghaib dapat dilihat oleh mata bathin (bashirah) dan dapat didengar oleh telinga bathin serta kelezatannya dapat dirasakan oleh Qalby hakiki yang dimiliki oleh para Arif billah.

Perlu ditekankan di sini bahwa pengertian “hati” pada uraian di atas sangatlah berbeda dengan pengertian hati seperti lazimnya manusia sekarang mengartikannya. Bahwa pada hakekatnya hati (qalby hakiki) tidaklah pernah kotor oleh karena NurQalbun yang selalu bersinar. Maka sesungguhnya yang menutupinya adalah gumpalan darah kotor yang berada di ujung jantung. Semakin manusia menuruti godaan dan hasutan Iblis dan Syeitan maka semakin besarlah Istana Iblis (berupa gumpalan darah kotor) hingga semakin tebal gumpalan darah kotor tersebut yang akhirnya semakin tertutuplah qalby hakiki hingga NurQalbun seolah tidak terpancar dari dalam jantung.

Jadi sesungguhnya, secara fisik letak qalby hakiki adalah pada jantung. Sedangkan hati menurut persepsi kedokteran sesungguhnya adalah liver.

Bahwa sesungguhnya NurQalbun inilah yang membuat manusia dikatakan “hidup”. Maka pantaslah jika jantung (secara kedokteran) dikatakan sebagai sumber utama penopang biologis manusia, sedangkan darah yang terpompa dari/ke jantung adalah bertindak sebagai “minyak” bagi “cahaya kehidupan” manusia.

Transformasi Ilmu Ghaib :

1. Allah memilih sendiri manusia yang akan dikaruniai ilmu ghaib melalui cara penyampaian secara LADUNI.
2. Manusia yang menempuh jalan hakekat menuju Allah SWT dengan cara mengikuti cara-cara para guru hakekat / makrifat serta mursyid (penuntun) sebagai guru zahir ilmu ini. Bila manusia ini tekun dan istiqamah pada jalannya maka akan memperoleh pula ilmu Ghaib secara Laduni melalui perantara guru-guru ghaib seperti wali-wali Allah, Nabi dan Rasul.

Bila Nabi dan Rasul menerima wahyu dari Allah dengan 9 cara, maka Ilmu Ghaib dihantarkan kepada manusia secara LADUNI dengan 5 cara yaitu :

1. Melalui Nur. Biasanya dapat diterima oleh orang yang sedang menjalani thariqah, melalui jalan mimpi secara kiasan atau sejelas-jelasnya. Murid yang mengalami hal ini wajiblah merujuk kepada “guru yang mursyid” agar tidak terjebak oleh makna-makna manusiawi oleh karena nafsu.
2. Melalui Tajalli. Tajalli dapat diartikan sebagai penjelmaan buah fikiran dari perasaan “Zauq” (hanyut sesaat dalam ke-Maha Besar-an Allah). Maka terbitlah dari mulut atau akalnya suatu pengetahuan baru yang tidak pernah didengar dan diperkatakan olehnya sebelumnya. Dalam keadaan ini wajib pula si murid merujuk kepada “guru yang mursyid” untuk mendapatkan penjelasan yang lebih dalam.
3. Melalui Sir. Adalah jalan penyampaian Ilmu Ghaib secara rahasia, yang hanya dapat dirasakan dan didengar oleh seseorang secara mutlak. Lazimnya melalui pendengaran bathin. Suara-suara yang didengar oleh pendengaran bathin adalah suara para Wali Allah Yang Agung tentang Ilmu Ghaib.
4. Melalui Sirrusir. Adalah merupakan suatu jalan penyampaian Ilmu Ghaib dengan “rahasia di dalam rahasia”. Dalam hal ini manusia dimaksud dapat melihat dengan Penglihatan Bathin, dapat mendengar dengan Pendengaran Bathin tentang suatu peristiwa atau pengajaran Ilmu Ghaib, seperti layaknya menyaksikan tayangan televisi.
5. Melalui Tawassul. Adalah dengan cara penjelmaan oleh Guru atau Wali Allah yang ghaib untuk menemui orang dimaksud untuk mengajarkan Ilmu Ghaib. Bertemunya dalam keadaan sadar dan bukan mimpi.

ILMU SYAHADAH
Adalah ilmu yang paling tinggi di dalam pelajaran Ilmu Allah yang dapat dikuasai oleh manusia. Ilmu ini adalah ilmu Makrifah dan Syahadah (Mengenal dan Menyaksikan) dengan sebenar-benarnya (Haq) kepada Allah SWT.
Hanya Allah sendiri yang mengajarkan secara langsung. Dengan lain perkataan, Ilmu Syahadah adalah ilmu untuk menyatakan diri Allah sendiri. Ilmu ini hanya dicapai oleh para Rasul, Nabi dan Wali Allah yang agung.

Jumat, 25 Februari 2011

Memperkenalkan moral tingkah laku, etika dan tridisi orang Jawa.


a. BUDI PEKERTI; Good Conduct of Life / Good Morality/Virtue
Hal ini adalah sangat penting sebagai tuntunan moral orang Jawa tradisional. Seseorang yang mengenal dan mempunyai Budi Pekerti, dalam hidupnya pastilah selalu selamat; Slamet; seperti yang diharapkan dalam hidupnya jauh dari banyak perkara.
Ucapan berkah dari orang tua dan berkah dari orang yang lebih tua pasti dan selalu terdapat kata “Slamet”, Selamat atau “safe life”. Budi pekerti adalah induk dari dari segala jenis etika, etiket, tingkah laku yang baik, serta tuntunan hidup baik dan benar, dll.. Pada awalnya dilakukan atau diajarkan dari orang tua mereka dan keleuarga mereka di rumah kemudian oleh masyarakat secara langsung dan tidak langsung.
Cerita dalam WAYANG (shadow puppet performance) adalah salah satu sumber ilmu Budi Pekerti untuk kalangan muda. Akan tetapi banyak juga cerita wayang yang menceritakan tentang hidup sejati atau uripsejati (true life) yang sering dikenal dengan MANUNGGALING KAWULA lan GUSTI: manunggal = unity) The Unity of Servant & Lord. Dengan cerita wayang itulah orang Jawa seringkali bisa melihat dirinya sendiri, sehingga itu wayang masih populer sampai pada saat ini.

Cerita wayang itu diantaranya adalah:

1. Cerita tentang kebaikan dan keburukan, yang pada akhirnya diakhiri dengan kebaikan, akan tetapi setiap waktu keburukan itu selalu mengikuti.
Ikutilah seperti apa yang dilakukan oleh keluarga Satriya; Pandawa, yang dinobatkan mempunyai karakter selalu menghormati dan kesopanan. Berperang untuk kebenaran, untuk kesejahteraan umat manusia dan bangsa. Mereka belajar serius tentang spiritual, dan mereka menggunakan kekuatan supernatural mereka untuk mencapai cita-cita itu.
Janganlah meniru kelakuan Kurawa dan kroninya. Mereka tidak pernah menghormati, rakus akan kekuasaan dan materi dunia, kasar, dan tidak sopan. Mereka tampaknya dipenuhi oleh hawa nafsu keserakahan dan angkara murka. Mereka itu raksasa hutan. Dalam bahasa Jawa disebut Butho; yang berarti orang yang buta matanya tidak bisa melihat mana yang baik dan mana yang tidak benar, baik atau jahat, benar dan salah, rakus, haus darah, egois, dll. Atau melambangkan semua karakter jelek.

2. Penghuni di alam jagat raya ini tidak hanya manusia dan binatang. Didalamnya juga ada makhluk lain seperti roh (jahat dan baik) atau istilah populernya dikenal dengan “MAHLUK ALUS” (The unseen spirits)  (mahluk = creatures, alus = unseen). Para dewa dewi sebagai penghuni Kahyangan (The abode of Gods), serta kekuatan yang mengatur semua alam jagat raya ini merupakan kekuatan Tuhan (Supreme God).

3. Kehidupan seseorang, keberadaanya dan nasib hidupnya telah diberikan dan ditunjukkan (pre-destined ) dengan kekuatan milik Tuhan.

4. Semau manusia diharuskan untuk berterimakasih dan memuja Tuhan karena telah diberikan sebuah kesempatan untuk hidup didunia. Janganlah sesekali mengeluh kepada-Nya ketika kamu sedang dalam penderitaan, gantilah keadaan itu selalu untuk dekat kepada-Nya.

Legenda di tanah Jawa banyak memberikan contoh:
1. Aturan Raja yang adil dan tidak adil.
2. Kelicikan dan penghormatan
3. Pahlawan dan pengkhianat
4. Bangsa yang damai dan sejahtera serta yang penuh kekacauan.
5. Rakyat sebagai kekuatan poitik dan kecanduan kekuatan politik.
6. Masayarkat yang ADIL (Just; Fair; Peace), MAKMUR (Prosperous), Tata Tentrem Kerta Raharja dimana aturan, kedamaian, keamanan, dan kebahagiaan selalu dijunjung tinggi sebagai ideologi sosial masyarakat Jawa.

Dari orang tua dan keluarga, guru dan masyarakat, orang Jawa saling belajar dari antara mereka seperti:

1. TATA KRAMA atau ETIKA ( To be Polite or Etiquette).
TATA KRAMA (To be polite or etiquette) adalah menyangkut masalah tingkah laku jasmani seperti bagaimana cara duduk, cara makan, cara berbicara, dll. Dengan orang yang lebig tua dan orang yang lebih tinggi posisinya mereka menggunakan bahasa Jawa yang disebut KRAMA INGGIL (refined language). Dengan temannya mereka seringkali menggunakan bahasa Jawa NGOKO (low level). Hampir semua kata-kata yang digunakan dalam kedua jenis tingkatan bahasa, baik KRAMA INGGIL & NGOKO sangatlah berbeda. Bahasa jawa sangatlah istimewa dan unik, dan sangat tepat untuk membuktikan adanya etika atau TATA KRAMA (etiquette)

2. MENGHORMATI (To be Respect).
Harus selalu menghormati orang tua, orang yang lebih tua, guru, leluhur, dll, tidak selalu untuk menutup kemungkinan menghormati orang yang lebih muda, mereka juga diperlakukan dengan penuh penghormatan juga, seta bagi orang-orang yang lebih tinggi atau lebih rendah posisinya.
Hal ini sering disebut juga TATA SUSILA (ethics) yang didalamnya orang Jawa haruslah:
• KEJUJURAN; tidak curang, siap untuk membantu orang lain. Selalu siap untuk menjauhi Ma-Lima (Five bad conducts in Javanese language starting with ma-lima); MAIN – gambling; MADON – commit adultery; MABUK – excessive alcoholic drinking; MANGAN – include using opium, smoking, drugs, narcotics, etc; MALING – stealing. Kesemuanya itu yang secara kebutuhan ragawi bisa merusak dan merugikan, oleh karen itu harus selalu dihindarkan.
• Selalu melakukan kelakuan yang baik dan benar untuk menghindari kesalahan dan melindungi reputasi yang baik dan benar, oleh karena itu orang Jawa selalu merasa “ISIN atau Malu” (to feel ashamed). Rasa “ISIN” mengacu kepada tingkah laku yang salah, yang bagi orang Jawa lebih ditegaskan lagi sebagai kehilangan kehormatan dirinya.
• RUKUN; (To maintain harmony), diartikan sebagai bebas dari konflik dalam keluarga, tetangga, penduduk desa, bangsa dan dunia. Keharmonisan kehidupan diantara mereka adalah sangatlah penting. Faktanya apabila terdapat kerusakan dalam diri manusia itu berarti mereka mengacu kepada orang yang tidak bertanggung jawab. Hanya sebagian kecil kerusakan diri manusia disebabkan oleh gangguan binatang atau roh. Semboyan yang sangat terkenal dikalangan orang Jawa adalah RUKUN AGAWE SANTOSA (Peaceful and harmony makes us strong).
• SABAR (To be patient) , mampu mengendalikan dirinya.
• NRIMA (To be acceptful) mampu menerima nasib hidupnya didunia ini dan tidak mencemburui segala sesuatu yang dimiliki orang lain (kesuksesan, keberhasilan, kekayaan, dll.)
• Sifat AKU ( Don’t be selfish, to act only for his own interest.) melakukan segala sesuatu untuk ditrinya sendiri.
SEPI ING PAMRIH RAME ING GAWE, dalam artian yang lebih luas sebagai hakekat hidup yang lepas dari sifat ke-AKUan (free of self interest) dan siap sedia untuk bekerja keras untuk komunitas sosial dan kesejahteraan seluruh isi dunia, tidak mengharapkan sesuatu apapun; pamrih imbalan jasa. (RAME >< SEPI = tidak mengharapkan sesuatu sebagai balas jasa; expecting nothing for the good deed, GAWE = siap bekerja dengan keras. ready to work hard seriously or to organize, etc.)

b. SLAMETAN; Ritual Ceremonial
Hal ini sangatlah penting dari setiap tradisi ritual. Doa-doa dilakukan oleh tetangga atau saudara dekat dan beberapa kerabat dekat lainnya dalam bentuk upacara sesaji, yang biasanya terdapat TUMPENG (offering of rice cone) dan beberapa bentuk hidangan lainnya, beberapa macam buah-buahan, dedaunan, bunga, dll. SLAMETAN berasal dari kata “SLAMET atau Safe” yang sangat difokuskan untuk jujuan keselamatan, ritual penghormatan hari kelahiran, dsb.

b. GOTONG ROYONG; Mutual cooperation; assistance
Adalah bentuk kerjasama yang solid berdasarkan kesadaran dan atas dasar petimbangan yang matang untuk menolong sesama, terutama dilingkungan tetangga atau sesama penduduk desa. Diantaranya adalah acara bersih desa, membangun jalan desa, menjaga keamanan sesama penduduk desa atau tetangga, membantu tetangga yang sedang dalam kesusahan seperti meninggalnya seseorang, kebakaran, dsb.

c. MAMAYU HAYUNING BAWANA; To Preserve The Beauty of The World
Seperti yang disebutkan dengan konsep “MAMAYU HAYUNING BAWANA” yang masih berlaku hingga pada saat ini adalah tonggak yang terkuat didalam ajaran Kejawen . Untuk mempelajari hal ini adalah sangat sulit apabila tidak mengerti dan dipahami terlebih jauh lagi tentang praktek Kejawen tanpa mengimplementasikan prinsip ini. Karena pada dasarnya ini berarti: menjaga kelestarian lingkungan alam jagat raya untuk kesejahteraan umat manusia.
Beberapa orang Jawa yang melestarikan jalan hidup secara tradisional, dalam beberapa kesempatan yang tepat boleh dikatakan kehidupan manusia harus selalu dalam keadaan baik, selamat dan sejahtera apabila setiap orang ingin mempraktekkan prinsip hidup “MAMAYU HAYUNING BAWANA” secara luas. Di Jawa, kalimat ini sangat populer dan selalu terbuka dan diucapkan berkali-kali oleh tokoh masyarkat; tua-tua; guru spiritual yang dikenal dengan PINISEPUH (elderly wise people).
Untuk lebih jelasnya dalam artian yang benar disini dijelaskan bahwa “MAMAYU HAYUNING BAWANA” berarti melestarikan keindahan dunia, bisa diartikan sebagai mengerjakan sesuatu untuk kesejahteraan dunia dengan segala sesuatu yang ada didalamnya. Bisa diambil catatan sbb: HAYUNING BAWANA (HAYU; AYU- beautiful; BAWANA- universe; world; earth). Persepsi orang Jawa mengatakan bahwa dunia itu sangat indah, dunia itu sendiri adalah alam yang indah sumber kehidupan, sangat berarti bagi manusia dan mahluk hidup. Haruslah dihaga dan dirawat, dilestarikan dan dilindungi dengan cara yang terbaik. Oleh siapa??.. tentunya oleh manusia itu sendiri sebagai penduduk dunia secara luas yang menerima sebanyak-banyak karya cita alam jagat raya dunia untuk menyambung hidupnya. Manusia harusnya tidak lupa akan hal ini bahwa dia tidak bisa dilepaskan oleh alam.
Beberapa orang bijak ahli lingkungan sering mengatakan “If you do any harm to the world, to the environment, you do harm to yourself” – apabila kamu merusak dunia, kepada lingkungan itu sama saja kamu merusak dirimu. Manusia adalah faktor utama untuk menjaga dunia ini dalam keadaan yang baik. Dan beberapa aturan-aturan banyak diciptakan untuk melindungi dunia dan segala isinya dari kerusakan. Semau orang/manusia haruslah waspada sebagai bagian kecil dari “BAWANA”’ (world; earth), haruslah mempunyai kesadaran tinggi untuk melestarikan dunia demi kesejahteraan umat manusia.
Di dalam Kejawen selalu ditegaskan bahwa tidak ada yang lainnya kecuali GUSTI (Creator of life, the Creator of the Universe, God the Almighty) yang mampu menciptakan segala bentuk kehidupan didunai ini. Manusia haruslah menghormati-Nya, memuja-Nya. Hal ini merupakan bentuk keharmonisan secara vertikal antara manusia dangan Tuhannya, serta manusia juga harus mampu untuk menciptakan keharmonisan hidup terhadap sesama manusia dan lingkungannya, yang sering dimanifestasikan atau diwujudkan sebagai hubungan secara horisontal.
Dia sendiri harus mengetahui kegnaan sumber daya alam dan kekuatan alam. Setiap bagian dari alam mempeunyai tugas dan fungsi masing-masing dan sifatnya juga sendiri-sendiri. Oleh karena itu barangsiapa yang mencari ilmu sejati atau NGELMU SEJATI = KASUNYATAN; The Reality) kadangkala melakukan laku meditasi dibeberapa tempat untuk mendapatkan wahyu; yang sering orang Jawa disebut dengan pepadhang.
Manusia dengan karakter pepadhang atau Satriya (warrior) selalu siap sedia dalam membantu siapapun dan apapun. Seorang Ksatriya;Satriya yang dalam artian lebih luas lagi adalah seseorang dengan pandangan pikiran yang jujur, sehingga dalam tugasnya dia berperan sebagai:
1. Memberikan contoh yang baik dari kelakuannya untuk kepentingan semuanya termasuk bagi negaranya.
2. Menjadi pelindung yang baik bagi yang memerlukan pertolongannya.
3. Membantu bagi yang memerlukannya.
4. Sangat bijaksana untuk memberikan pengampunan bagi orang bersalah kepadanya.

Seorang SATRIYA (warrior) adalah seorang yang percaya kepada Tuhannya, dalam beberapa aspek kehidupan spiritualnya, dia juga mempunyai kemampuan untuk “OLAH RASA” (true feeling) dengan mempraktekkan kekuatan rasa sejatinya. Olah rasa (spiritually) adalah RASA SEJATI, yang hanya bisa dipenuhi dengan jalan meditasi. MEDITASI; Meditation ( adalah laku bermeditasi yang biasanya dilakukan dengan jalan keluar rumah pada malam hari beberapa menit lamanya, berada dibawah langit terbuka adalah sangat berguna untuk menggabungkan getaran alam dengan dirinya. Hal ini adalah sangat penting untuk mendekatkan dirinya kepada kekuatan alam berupa angin (wind), air (water), api (fire) dan tanah (land).
Untuk menolong orang lain adalah sesuatu yang berarti bagi dirinya, akan tetapi sebelum memutuskan untuk menolongnya dia haruslah melakukan latihan kedalaman spiritual sehingga dia kuat/tidak goyah, cara terbaik adalah bila dia sudah benar-benar mengenal akan Tuhannya

Sebuah Sudut Pandang tentang KAKANG KAWAH, ADHI ARI-ARI, GETIH, PUSER, KALIMO PANCER menurut pemahaman budaya Jawa dan Agama Islam


Keberadaan kita hidup di dunia ini tidak sendiri. Semenjak pertama kali kita diturunkan ke alam dunia lewat rahim ibu, Tuhan sudah menitahkan adanya penjaga-penjaga yang senantiasa mendampingi kita hidup di alam dunia. Dan sesuai dengan perintah Tuhan, para penjaga-penjaga itu dengan setia senantiasa berada di sekeliling kita.
Bagi orang Jawa, khususnya orang yang memahami tentang Kejawen, adanya para penjaga tersebut dikenal dengan sebutan “Sedulur Papat”. Siapa saja Sedulur Papat itu? Sedulur papat yang dikenal masyarakat yang memahami Kejawen adalah:
1. Kakang Kawah (Air Ketuban)
2. Adhi Ari-Ari (Ari-ari)
3. Getih (Darah)
4. Puser (Pusar)

Kakang Kawah
Yang disebut dengan Kakang Kawah adalah air ketuban yang menghantarkan kita lahir ke alam dunia ini dari rahim ibu. Seperti kita ketahui, sebelum bayi lahir, air ketuban akan keluar terlebih dahulu guna membuka jalan untuk lahirnya si jabang bayi ke dunia ini. Lantaran air ketuban (kawah) keluar terlebih dulu, maka masyarakat Kejawen menyebutnya Kakak/Kakang (saudara lebih tua) yang hingga kini dikenal dengan istilah Kakang Kawah.

Adhi Ari-Ari
Sedangkan yang disebut dengan adhi ari-ari adalah ari-ari jabang bayi itu sendiri. Urutan kelahiran jabang bayi adalah, air ketuban terlebih dulu, setelah itu jabang bayi yang keluar dan dilanjutkan dengan ari-ari. Karena ari-ari tersebut muncul setelah jabang bayi lahir, maka masyarakat Kejawen biasanya mengenal dengan sebutan Adhi/adik Ari-ari.

Getih
Getih memiliki arti darah. Dalam rahim ibu selain si jabang bayi dilindungi oleh air ketuban, ia juga dilindungi oleh darah. Dan darah tersebut juga mengalir dalam sekujur tubuh si jabang bayi yang akhirnya besar dan berwujud seperti kita ini.

Puser
Istilah Puser adalah sebutan untuk tali pusar yang menghubungkan antara seorang ibu dengan anak yang ada dalam rahimnya. Dengan adanya tali pusar tersebut, apa yang dimakan oleh sang ibu, maka anaknya pun juga ikut menikmati makanan tersebut dan disimpan di Ari-Ari. Disamping itu, pusar juga digunakan oleh si jabang bayi untuk bernapas. Oleh karena itu, hubungan antara ibu dengan anaknya pasti lebih erat lantaran terjadinya kerjasama yang rapi untuk meneruskan keturunan. Semuanya itu atas kehendak dari Gusti Allah Yang Maha Kuasa.
Ketika seorang jabang bayi lahir ke dunia dari rahim ibu, maka semua unsur-unsur itu keluar dari tubuh si ibu. Unsur-unsur itulah yang oleh Gusti Allah ditakdirkan untuk menjaga setiap manusia yang ada di muka bumi ini. Maka bila masyarakat Kejawen hingga kini mengenal adanya doa yang menyebut saudara yang tak tampak mata itu secara lengkap yaitu “KAKANG KAWAH, ADHI ARI-ARI, GETIH, PUSER, KALIMO PANCER”.

Pancer
Lalu siapakah yang disebut dengan istilah Pancer? Yang disebut dengan istilah Pancer itu adalah si jabang bayi itu sendiri. Artinya, sebagai jabang bayi yang berwujud manusia, maka dialah pancer dari semua ‘saudara-saudara’nya yang tak tampak itu.

KESAMAAN DENGAN ISLAM

Antara ajaran Kejawen dengan Islam secara sudut pandang ada sedikit kesamaannya. Dalam Islam disebutkan bahwa setiap manusia dijaga oleh malaikat-malaikat yang ditugaskan oleh Tuhan. Siapa saja malaikat-malaikat itu? Malaikat-malaikat yang ditugaskan oleh Gusti Allah untuk setiap manusia itu antara lain, Jibril, Mikail, Izroil dan Isrofil.
Nah, kesamaan antara ajaran Kejawen dan Islam tersebut yakni :

Kakang Kawah

yang disebutkan sebagai pembuka jalan si jabang bayi, itu di Islam dianggap sama dengan Jibril (Penyampai Wahyu). Malaikat Jibril lah yang membuka jalan bagi keselamatan sang bayi hingga lahir ke dunia.

Adhi Ari-ari
yang disebut-sebut di dalam ajaran Kejawen, di dalam Islam dianggap sama dengan Mikail (Pembagi Rezeki). Karena lewat Ari-Ari itulah si jabang bayi dapat hidup dengan sari-sari makanan yang didapatkan dari seorang ibu.

Getih (darah),
bagi orang Jawa, pada pemahaman orang Islam dianggap sama dengan keberadaan malaikat Izroil (pencabut nyawa). Buktinya, jika tidak ada darahnya, apakah manusia bisa hidup?

Yang terakhir adalah Puser.
Dalam pemahaman masyarakat Jawa, Puser adalah sambungan tali udara (napas) antara sang ibu dengan anaknya. Nah, pada pemahaman Islam, Puser ini dianggap sama dengan Isrofil (Peniup Sangkakala). Meniup sangkakala menjelang kiamat Qubro kiamat Besar) adalah dengan napas.